Rabu, 05 Oktober 2016

Profit perbankan

A.  Pendahuluan

Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan musyarakahmerupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datang. Sebagaimana Lewis dan Algaoud mengutip pendapat Crone, Kazarian dan Cizaka, bahwa di Timur Tengah pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsepmudharabah dan musyarakah berjalan berdampingan dengan konsep pinjam sistem bunga sebagai cara untuk membiayai berbagai aktivitas ekonomi[1]. Kemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis riba[2] (bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing).

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hikmah diharamkannya riba antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan sikap permusuhan antar individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesame manusia;kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau mendapatkan harta tanpa kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih payah orang lain;ketiga, riba adalah salah satu bentuk penjajahan; dankeempat, Islam mengajak manusia agar mendermakan kepada saudaranya yang membutuhkan[3].

Sedangkan al-Razi sebagaimana dikutip Lewis dan Algaoud mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba antara lain: pertama, riba tak lain adalah perampasan hak milik orang lain tanpa ada nilai imbangan; kedua, riba dilarang karena menghalangi orang dari keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif;ketiga, perjanjian riba menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat, perjanjian riba adalah alat yang digunakan orang kaya untuk mendapatkan kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan keadilan dan persamaan; dan kelima, keharaman riba dinyatakan oleh nas Al-Qur’an dan manusia tidak harus mengetahui alasannya[4].

Dengan melarang riba, Islam berusaha membangun sebuah masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan[5]. Keadilan dalam konteks ini memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan, dan imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang dimodalinya. Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.

Di Indonesia bunga bank masih menjadi polemik tersendiri karena para ulama masih belum sepakat tentang boleh-tidaknya sehingga dalam praktek, baik perbankan syariah[6] maupun perbankan konvensional berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan menjadi tiga pandangan, yaitu: pertama,bunga bank adalah termasuk dalam kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur;kedua, bunga bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan; ketiga, riba termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga sebaiknya bunga bank tidak dilakukan[7].

Perbedaan pokok antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah pada penggunaan bunga dalam pembiayaannya (equity financing). Kalau perbankan konvensional menggunakan sistem bunga, maka perbankan syariah tidak menggunakan bunga tetapi sistem bagi hasil.

Mudharabah dan musyarakah atau yang sering dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah dua model perkongsian yang direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem riba. Maka, dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikan mudharabah danmusyarakah serta implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).

B. Mudharabah dan Implementasinya dalam Perbankan Syariah

1.  Definisi Mudharabah

Mudharabah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata dharab yang bermakna memukul, bergerak, pergi, mewajibkan, mengambil bagian, berpartisipasi[8]. Dalam kaitannya dengan pengertian mudharabah maka yang lebih cocok adalah mengambil bagian dan berpartisipasi.

Adapun menurut istilah ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun di sini penulis hanya mengutip beberapa bendapat saja antara lain:

a.       Menurut Sayyid Sabiq “Mudharabah adalah  akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan”.[9]

b.       Antonio mengutip pendapat al-Syarbasyi sebagai berikut: “Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shabib al-mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola, dan keuntungan usaha secara dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola”.[10]

c.        Lewis dan Algaoud mendefinisikan mudharabahsebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al-malatau rab al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Konsekuensinya para pemberi pinjaman memperoleh bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai[11].

d.       Adiwarman mengutip pendapat M. Anwar Ibrahim bahwa “Mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain, dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung”. [12]

Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwamudharabah adalah akad antara dua belah pihak atau lebih, antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pengelola usaha (mudhararib) dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan kesepakatan yang tertuang di dalam kontrak,  dimana bila usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola usaha (profit and lost sharing).

 

2.  Landasan Syariah Mudharabah

Mudharabah hukumnya adalah boleh sesuai dengan ijma’ (kesepakatan) ulama.[13] Di dalam Al-Qur’an maupun hadis banyak dijumpai ayat maupun hadis yang menganjurkan manusia untuk menjalankan usaha. Berikut ini akan dipaparkan beberapa ayat dan hadits berkenaan dengan anjuran untuk melakukan usaha.

… tbrã�yz#uäur tbqç/ÎŽôØtƒ ’Îû ÇÚö‘F{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù «!$# …

Artinya : “…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah….” (Q.S. al-Muzammil: 20)

}§øŠs9 öNà6ø‹n=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§‘ …

 

Artinya : “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…” (Q.S. al-Baqarah : 198)

روى ا بن عبا س رضي الله عنهما ا نه قا ل : كا ن سيدنا ا لعبا س بن عبد ا لمطلب إ ذا دفع ا لما ل مضا ربة ا شترط على صا حبه أ ن لا يسلك به بحرا ولا ينزل به وا ديا ولا يشترى به  دا بة  ذا ت كبد رطبة  فإ ن فعل  ذلك ضمن فبلغ شرطه رسول الله صلى الله عليه وسلم  فأجا زه

Artinya : “Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Sayyidina Abbas ibn Abd al-Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Kemudian hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau membolehkannya.” (H.R. Thabrani).

عن صا لح صهيب عن أ بيه قا ل : قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلا ث فيهن  البركة ا لبيع إ لى أ جل وا لمقا رضة وأ خلا ط ا لبُر با لشعير للبيت لا للبيع

 

Artinya : “Dari Shalih ibn Shuhaib bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (H.R. Ibn Majah).

 

3.  Jenis-jenis Mudharabah

Secara umum mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah[14]. Berikut ini akan dikemukakan kedua macam pembagian mudharabah di atas.

a.  Mudharabah Muthlaqah

Yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemodal (shahib al-mal) dan pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharabah muthlaqah inishahib al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada mudharib  dalam mengelola modal dan usahanya.[15]

b.  Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah  adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib) dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha.[16]

 

4.  Implementasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah

Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada :

a.        tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa;

b.        deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah  diterapkan untuk :

a.         pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;

b.         investasi khusus, disebut juga denganmudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal (bank).[17]

 

5.  Manfaat dan Resiko Mudharabah

Dalam mudharabah di samping terdapat keuntungan dari sistem bagi hasil yang diterapkan, tapi juga terdapat resiko yang harus ditanggung. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh shahib al-mal (bank) selama kerugian itu bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha (nasabah). Namun, jika usaha yang dijalankan tersebut mengalami kerugian disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha, maka kerugian tersebut harus ditanggung oleh pihak pengelola, bukan pihak pemberi modal (bank).

Adapun manfaat yang diperoleh dari sistem mudharabahini antara lain :

a.          Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat;

b.          Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapat/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

c.           Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.

d.          Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

e.          Prinsip bagi hasil dalam mudharabah  berbeda dengan prinsip bunga  tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Sedangkan resiko dalam mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :

a.      side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak;

b.      lalai dan kesalahan yang disengaja;

c.       penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.[18]

Dengan demikian, esensi dari kontrak mudharabahadalah kerja sama untuk mencapai profit (keuntungan) berdasarkan akumulasi dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui kedua komponen ini. Resiko juga menentukan profit dalammudharabah. Pihak investor menanggung resiko kerugian dari modal yang telah diberikan, sedangkan pihak mudharib menanggung resiko tidak mendapatkan keuntungan hasil pekerjaan dan usaha yang telah dijalankannya.[19]

Secara umum, aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah dapat digambarkan sebagai berikut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar